Cerita Tak Masuk Akal







Bunga Ilalang

Gerimis masih mericik ketika kamu muncul di depan pintu dengan tangan kiri yang kau sembunyikan di punggung. Sekilas aku melirikmu, tersenyum dan buru-buru berdiri menyambutmu. Kucium punggung tanganmu dan menyilakan kamu masuk. Kuceritakan, bila saat ini aku sedang bertempur dengan banyak deadline. Desain, editan, novel-novel teenlit, review dan lainnya harus kukerjakan hari ini dan aku merasa sedang gila.
"Nih, biar kamu tidak gila," katamu seraya menyodorkan segenggaman besar bunga ilalang.
"Buat apa?" Pertanyaan tolol itu keluar dari mulutku. Meski tidak urung aku menerimanya dan menangkupkannya di dada.
"Buat kamu atuh. Masa buat tetangga?" Kamu mengacak rambut terkuncirku.
"Ih, kamu..., aku jadi..."
"Jadi apa?" Tanganmu sejenak berhenti.
"Jadi..." Kupeluk kamu, dan kamu mendaratkan kecupan di ubunku.
"Senang sekarang?" Tanyamu.
"Iya. Terima kasih, ya,"
"Kembali kasih, kekasih,"
"Ih, menggelikan ujungnya...,"
"Hahahaha..."

Triplet 1

Nomor antrian sudah ada di tanganku ketika kamu datang. Kamu langsung duduk di kursi kosong di sampingku, melingkarkan tangan di bahuku dan sekilas mengecup keningku. Tanganmu mengelus perutku yang agak membesar.
"Sayang, mau tebak-tebakan nggak?"
"Tebakan apa?"
"Aku rasa kita dapat triplet,"
"Yee, itu sih bukan tebakan namanya. Tapi kenyataan."
"Haha, iya ya. Minggu lalu kan, kita udah ketemu dokter juga. Tapi, kamu nggak kecapekan, kan?"
"Nggak capek, kan ini keinginan kita. Biar rumah ramai sekaligus, hihi...,"
"Kamu bahagia, kan?"
"He'emh. Kamu?"
"Sangat."
Suara rekaman di mesin pemanggil nomor antrian terdengar. Kamu membantuku bangun dan terus menempel di sampingku hingga ke ruangan dokter. Sebelum duduk, kamu berbisik di telingaku: 'awas, jangan suka sama dokternya". Aku mencubit pinggangmu.

Triplet II

Rumah kita tidak terlalu besar. Hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur. Tapi kita memiliki banyak kursi malas. Rak-rak buku kecil kita gantung di dekatnya. Kemalasan yang baik memang harus disertai buku, katamu suatu waktu. Ada taman kecil berisi beberapa jenis bunga dan kebun kecil yang kita tanami cabai, tomat dan beberapa jenis bumbu dapur.
Aku sedang memasak telur, ketika kamu memelukku dari belakang. Mengelus perutku yang sudah sangat membusung dan mengecup belakang kepalaku. Tapi, perutku yang sedari tadi mulas, bertambah mulas saja.
"Kita ke UGD sekarang. Caesar aja, ya," katamu setengah panik.
"Tapi ini telurnya belum matang,"
 "Ya elah, mana yang lebih penting, telur atau triplet kita?"
"Triplet. Tapi mereka pengen makan dulu sebelum keluar,"
"Ya sudah, kita makan sambil jalan, ya. Aku keluarkan mobil dulu ya,"
"Tapi telurnya siapa yang masak kalau kamu pergi gitu?"
 "Aaargh! Iya, aku masak telur dulu. Kamu duduk, ya,"
Kamu menuntunku ke kursi di depan meja makan. Membantuku duduk, kemudian melanjutkan menggoreng telur.

Duri Keramat

Udara Kota Serang sedang tidak baik untuk para lajang yang tidak memakai jaket tebak. Bodohnya, malam ini aku cuma memakai kaos tipis dan kamu pun cuma membawa satu jaket saja. Kamu sudah menawariku memakai jaket itu, tapi meskipun aku sering masuk angin, kamu yang mengemudikan kendaraan lebih membutuhkannya. Setidaknya, aku bisa berlindung di punggungmu.
"Sayang, lihat deh, bunganya bagus. Berhenti dulu, ya," katamu sembari menunjuk bunga liar di sebelah kiri kita.
"Jangan dipetik atuh, kasihan."
"Bukan mau metik bunga, kok. Aku mau ambil ini," ucapmu seraya menjulurkan tangan pada tanaman liar yang berduri.
"Duri? Kok bukan bunga?"
"Kata kamu jangan petik, ya udah aku petik durinya. Keramatkan, ya."
Kamu menyerahkannya di telapak tanganku.
"Kamu benar-benar romantis. Aku sampai nggak bisa ngomong."
"Itu bisa ngomong."
"Ya bisa, cuma perasaanku jadi kacau."
"Ayo pulang. Aku antar sampai pintu kostan."
"Masa? Biasanya cuma sampai pinggir jalan."
"Maaf. Aku sedang menjadi lelaki berengsek saat itu."
"Jadi, sekarang sudah tidak berengsek?"
"Iya."
"Terima kasih. Aku percaya padamu."
Kukecup punggungmu.
"Kebiasaan. Bilang saja aku mencintaimu, gitu. Malu banget sih ngakuin begitu aja."
"Iiih. Aku suka merasakan, bukan mengatakan. Kamu bisa membaca tanda, kan?"
"Iya. Aku tahu, kamu mencintaiku. Ayo aku antar pulang...,"
"Terima kasih, ya."
"Untuk?"
"Selalu mengantarku pulang."
"Hih...."

Cumi Bakar Papa

 Kamu menarik tanganku kencang sembari terus berjalan. Aku berusaha menjajari langkahmu dengan berlari, namun nyatanya aku lebih terlihat seperti diseret menuju parkiran. Kamu yang biasanya memakaikan helm di kepalaku, kini hanya menyerahkannya saja. Aku memakainya seburu-buru kamu menstater dan memundurkan motor. Setelah aku duduk di belakangmu, kamu pun menggasnya entah kemana. Tapi aku percaya, apapun ulahmu hari ini, kamu akan selalu memastikan kebaikanku. Kamu tidak pernah melarang apapun, bepergian kapan pun, selama aku bisa menjaga diriku, kamu selalu mengizinkanku. Hanya saja, kali ini ada ketegangan luar biasa dari sikapmu. Entah apa sebabnya. Aku hanya ingin memastikan apa dan kenapa tanpa menanyakannya.
"Ayo turun," ujakmu ketika motormu sudah berhenti di parkiran pelelangan ikan. Ah, kamu mulai lagi. Mengajakku memasak? Sudah kubilang aku tidak bisa mengurus ikan.
"Iya, sayang. Sabar, ya. Helmnya macet ini," Ujarku seraya terus berusaha membuka tali pengait helm. Kamu menghela napas dan menghembuskannya seligus. Lalu, tanganmu terjulur ke bawah daguku. Dengan sedikit kasar, kamu berhasil membukanya.
"Terima kasih," ucapku seraya membuka helm dan menaruhnya di jok motor yang tadi kududuki.
"Ayo," tanganmu kembali menyentak dan menghelaku. Bau amis ikan dan bacin selokan membuat hidungku mengernyit. Beberapa perahu tampak bersandar dan memuntahkan hasil tangkapan hari itu.
"Hey!" Seorang lelaki setengah baya berteriak di antara tumpukan box ikan. Tangannya melambai ke arah kita atau mungkin ke seseorang di belakang kita. Tapi, saat itu juga kamu menyeretku mendekatinya. 
Ah, lelaki itu yang akan kita temui? Kenapa sampai menyeret segala. Batinku.
"Nggak apa-apa kan, makan cumi bakar? Kebetulan baru datang, nih. Masih segar," sambut lelaki berkaca mata hitam itu ke arahmu. Kamu mengangguk. "Sebentar ya...," ujarnya seraya melempar senyumnya padaku. Ia lalu berbicara dengan pedagang ikan dan menunjuk ke dalam box. "Ayo ke sana," ajaknya kemudian sembari berjalan ke arah warung makan yang awalnya kusangka rumah penduduk itu. Ia seperti kenal baik dengan pemiliknya dan menyuruh kita langsung mencari tempat duduk, sementara ia berbincang sejenak. Tak lama, ia menyusul.
"Jadi, gadis ini yang kamu ceritakan itu?" tanya lelaki itu sembari melepaskan kaca matanya. Sejenak, ia menatapmu dan beralih menatapku juga. Tatapannya seolah sedang penasaran, namun berusaha ia tutupi. Maksud perkataannya tadi apa?
"Wah..., saya nggak nyangka akhirnya putra saya yang pengecut ini berani bawa kamu ke hadapan saya," ujarnya seraya tertawa. Tubuhku langsung bereaksi. Apa dia bilang? Putra?
"Aah, a.., saya Kaldera, om. Salam kenal," ujarku seraya menjulurkan tangan.
"Hey, kenapa panggil om? Panggil papa saja seperti si anak nakal itu. Kamu kan, calon menantuku," ujarnya masih dengan nada mengejekmu. Kutarik bibirku membentuk senyum, meski sedetik kemudian ketika aku melirikmu, senyumku seketika hilang. Kamu seperti si pesakitan yang memiliki tatapan mata penuh luka. Ada apa?








You Might Also Like

1 Comments